Pages

Sunday, March 22, 2009

Agar Engkau Bersujud Kepada-Nya

Aku namakan dirimu Muhammad Husain As-Sajjad, karena aku ingin engkau kelak akan banyak bersujud kepada-Nya

Oleh Mohammad Fauzil Adhim *

Aku namakan dirimu As-Sajjad, karena engkau lahir di saat orang-orang sedang bersujud ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di saat bidan yang seharusnya menolong kamu, sedang memenuhi panggilan-Nya untuk melakukan shalat Subuh. Ketika manusia sedang mengagungkan asma Allah, engkau lahir di dunia ini. Nyaris tanpa pertolongan. Tetapi pertolongan siapakah yang lebih baik daripada pertolongan Allah? Sesungguhnya, sebaik-baik penolong adalah Allah. Maka kelak, ingat-ingatlah bahwa hanya kepada-Nya engkau menyembah dan meminta pertolongan.

Hayatilah setiap kali engkau membaca “IyyaKa na’budu wa iyyaKa nasta’in. Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Nak…

Ada lagi yang membuatku memberimu nama As-Sajjad. Engkau lahir di hari pertama bulan Ramadhan. Ketika itu ibumu baru saja selesai sahur, ketika ia merasakan tanda-tanda kelahiranmu, Nak. Engkau lahir di bulan yang paling penuh barakah; bulan yang di dalamnya terdapat satu malam dengan kemuliaan yang melebihi seribu bulan. Di bulan itulah, Nak Al-Qur’an diturunkan. Dan di bulan itu pula engkau dilahirkan.

Sungguh, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Maka ketika kelak engkau mulai bisa memikirkan untuk apa engkau diciptakan, perhatikanlah langkahmu dan renungilah mengapa Allah takdirkan engkau lahir di bulan yang suci; di bulan yang manusia dan para malaikat mengagungkannya; sementara syaithan dibelenggu oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Di bulan itu, manusia belajar menahan diri –tak sekedar menahan lapar dan dahaga—agar mereka meraih derajat takwa.

Maka, aku sungguh berharap ini menjadi pelajaran bagimu untuk belajar menahan diri, bukan karena ingin mendapat penilaian manusia, tetapi agar meraih kecintaan Tuhanmu.

Janganlah engkau memalingkan wajahmu dari Allah Yang Maha Menciptakan, hanya demi meraih kecintaan dari makhluk-makhluk-Nya. Sesungguhnya selain Allah adalah fana. Betapa banyak orang yang mengikrarkan cintanya dan tak lama sesudah itu ia mengingkari ikrarnya sendiri. Betapa banyak orang yang mengaku mencintai saudaranya dengan tulus, padahal yang mereka cintai hanyalah parasnya. Cinta itu awalnya meluap-luap, dan setelah dimakan usia, tak tahu lagi kemana cinta harus dicari. Jika engkau mencari cinta mereka, mungkin mereka akan mengelu-elukanmu ketika ada yang bisa didapatkan darimu. Tetapi sesudah itu, tak ada sedikit pun jaminan bahwa mereka tidak akan meninggalkanmu.

Sungguh, telah banyak berlalu ummat-ummat sebelum kamu. Maka berjalanlah di muka bumi, dan lihat kesudahan orang-orang terdahulu. Telah banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras untuk memperoleh tepuk tangan dan decak kagum manusia, tetapi sesudah masa bertukar dan zaman berganti mereka tak lagi dikenali. Dan sesudah itu, sebagian di antara mereka terpuruk oleh kesedihannya sendiri, dan sebagian lainnya tersadar sehingga segera berlari kepada Allah.

Alangkah fana, Anakku. Alangkah fana…. Maka apakah engkau akan sibuk mengejarnya?

Sementara apabila engkau meraih kecintaan Tuhanmu, Anakku, Ia akan memaklumkan kecintaan-Nya kepada para malaikat. Lalu para malaikat itu akan memaklumkan kecintaan itu kepada hati manusia, sehingga mereka berbondong datang kepadamu sekalipun engkau bersembunyi di balik goa. Mereka datang kepadamu dengan penuh kecintaan, dan kecintaan itu datang dari Tuhanmu. Mereka akan siap melindungimu dan membantumu, kapan saja. Tetapi jangan engkau keliru menyangka, sehingga menganggap mereka sebagai penolongmu.

Tidak.

Sekali-kali tidak. Sesungguhnya tidaklah mereka menjadi penolongmu melainkan karena Allah semata.

Anakku…

Kunamakan engkau Muhammad Husain As-Sajjad agar engkau bersujud kepada-Nya. Sujudkan badanmu agar engkau termasuk golongan orang-orang ahli ‘ibadah. Sujudkanlah hatimu agar engkau menjadi seorang mukmin; seorang yang mengimani-Nya dengan lurus. Sujudkanlah pikiranmu agar engkau termasuk golongan ulil-albab.

Sujudkanlah jiwamu agar engkau menjadi seorang yang mencapai derajat ihsan, karena engkau senantiasa berada pada situasi seakan-akan engkau melihat Tuhanmu. Dan apabila engkau tidak melihat Tuhanmu, engkau yakin dengan sepenuh hati bahwa Ia mengawasimu.

Sujudkan pula harta dan duniamu, agar tidak pernah menguasai hatimu. Sesungguhnya harta itu letaknya dalam genggamanmu. Bukan pada hatimu. Apabila harta itu engkau letakkan di tanganmu, maka engkau akan ringan hati membelanjakan di jalan-Nya. Tetapi apabila harta itu engkau simpan dalam hatimu, maka sedikit saja yang berkurang, akan dapat menggelisahkan dirimu sehingga dengan itu justru harta yang sedang mendekat kepadamu, akan berlari sejauh-jauhnya.

Husain Anakku….

Sesungguhnya harta yang akan menjadi milikmu kelak di Yaumil-Qiyamah adalah yang engkau belanjakan di jalan yang benar. Setiap keping yang engkau jadikan shadaqah, ia akan tetap menjadi milikmu sampai Hari Kiamat. Setiap keping yang engkau bayarkan sebagai zakat, ia akan menjadi pembelamu di hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah semata.

Setiap keping yang engkau belanjakan untuk keluargamu, untuk anak-anak yatim, untuk jihad fii sabilillah, untuk amar makruf nahy munkar, untuk mengongkosi perjalananmu melakukan kebaikan, maka ia tetap menjadi milikmu dan senantiasa berlipat kebaikannya hingga engkau berjumpa di Hari Akhir kelak. Ia akan mengantarmu ke surga atas perkenan-Nya. Insya-Allah.

Tetapi, Nak…

Karena sekeping uang pula manusia bisa terhalang dari Tuhannya. Tidaklah disebut pendusta agama orang yang pendek-pendek do’anya dan ringkas shalatnya. Tidak.

Tetapi tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Begitu peringatan Tuhanmu dalam surat Al-Maa’uun. Kelak engkau bisa membacanya dalam Al-Qur’an.

Hanya Do’a Yang Kupinta Apa yang kuharapkan dengan pesan-pesan ini, Anakku?

Aku sayangi dirimu sejak engkau belum dilahirkan; Aku tunggui persalinan ibumu hingga terdengar tangismu; Aku bersihkan darah yang mengiringi kelahiranmu dengan tanganku sendiri; Aku temani masa-masa bayimu dengan membacakan do’a di telingamu; Aku ciumi dirimu sebagaimana Rasulullah saw. mengajarkan; Dan aku nanti engkau beranjak besar, lalu kutulis pesan ini, tidak lain hanyalah berharap engkau kelak menjadi orang shalih yang memberi bobot kepada bumi ini dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Betapa pun bapak dan ibumu hanya dua orang yang lemah imannya, lemah ilmunya dan lemah jiwanya. Tidak ada kekuatan kecuali semata-mata dari-Nya.

Besarnya pengharapan inilah yang menjadi kekuatan bapak ibumu dalam mengasuh dan membesarkanmu. Kalau kemudian kelak engkau menjadi anak yang shalih –dan bapak ibumu senantiasa berharap dengan penuh kesungguhan—maka tidak ada yang lebih berharga untuk diharapkan darimu melebihi do’a-do’a yang engkau panjatkan dengan tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi kedua orangtuamu ini. Harapan inilah yang membuat bapak ibumu bersedia mengorbankan apa saja, termasuk kesehatan, asalkan kelak engkau termasuk di antara waladun shalihun yad’ulah. Anak shalih yang mendo’akan.

Inilah yang senantiasa merisaukan orangtuamu, Anakku, bagaimana mengantarkan engkau menjadi waladun shalihun yad’ulah. Jika engkau termasuk anak yang shalih, maka setiap perbuatanmu dapat menjadi kebaikan bagi orangtuamu. Dan jika engkau mendo’akan bapak ibumu, maka Allah akan bukakan pintu-pintu kebaikan.

Kebaikan itu akan terus mengalir apabila engkau mendo’akan, sekalipun bapak ibumu telah berselimut kain kafan.

Tetapi sekedar mendo’akan, Anakku… tanpa ada keshalihan yang mengiringi do’a-do’a itu, rasanya akan sia-sia. Sebab, seperti yang engkau baca, anak-anak yang bisa menambah catatan kebaikan bagi kedua orangtuanya sesudah kematian menjemputnya adalah anak-anak shalih yang mendo’akan. Ini berarti engkau harus menjadi manusia shalih ketika mendo’akan.

Tanpa keshalihan, do’a itu akan melayang begitu saja. Apalagi do’a itu bukan engkau sendiri yang mengucapkan. Dan betapa banyak kulihat, di kala seorang anak Adam meninggal dunia, para tetangga mendo’akan si mati, sementara anak-anaknya mengaminkan pun tidak. Mereka menyibukkan diri dengan makanan yang akan dihidangkan.

Sungguh, sesuatu yang absurd. Lebih-lebih di antara para pendo’a itu terkadang ada yang menjadi ahli maksiat. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah kolumnis majalah Hidayatullah

0 comments: